Beberapa bulan silam, publik dibuat geram dengan adanya kasus suami yang melaporkan istrinya ke polisi dengan tuduhan KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara psikis. Suami berinisial C tersebut mengaku mendapatkan kekerasan secara verbal dan psikis lantaran ucapan kasar sang istri sehingga ia geram dan nekat melaporkan tindakan sang istri ke pihak kepolisian Karawang, Jawa Barat.
Lucunya, apa yang dilakukan sang istri yang berinisial V bermula dari aksi si suami yang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Karena tak tahan dengan tindakan suaminya tersebut, si istri pun mengomeli si suami dengan harapan ia bisa sadar dan meminta maaf. Kebalikannya, V merasa omelan tersebut mengganggunya dan menyebabkan dirinya mengalami tekanan psikis.
Laporan aneh C ke pihak kepolisian ternyata ditanggapi dan masuk ke ranah pengadilan. Proses hukum bergulir dan Pengadilan Negeri Karawang Jawa Barat pun menjatuhi hukuman penjara 1 tahun bagi si istri, V. Jelas, hal ini sangat tidak bisa dipahami dimana V merasa putusan hakim sangat tidak adil dan tidak beralasan. Dirinya menganggap apa yang ia lakukan adalah bentuk protes atas kesalahan sang suami namun kenapa justru ia yang harus dipidana dan divonis penjara atas kejahatan yang tidak ia lakukan.
V pun sempat terisak ketika keluar dari ruangan sidang dan langsung disambut oleh sejumlah wartawan. Keluh kesah V di depan media nyatanya tersebar luas di media sosial dan menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, diantaranya sejumlah pihak yang lantang menyuarakan tentang keadilan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Publik Gaduh Aparat Mulai Kaji Ulang Kasus
Curhatan V atas vonis pengadilan negeri Jabar yang viral di media sosial banyak membuat publik bersuara dan lantang menyuarakan dukungan. Sejumlah ormas pelindungan perempuan dan anak pun turun tangan untuk ikut membela keadilan bagi V. Yang disoroti disini adalah, putusan yang tidak logis yang diambil oleh kejaksaan serta aparat kepolisian yang memproses laporan si suami, C tanpa memperhitungkan latar belakang kasusnya.
Jelas, jika sedemikian mudahnya, bukankah keadilan bagi si ibu benar-benar telah hilang? Terlebih si ibu melakukan hal tersebut sebagai upaya melindungi harkat, martabat, rumah tangga serta psikis kedua anak-anaknya yang hampir setiap hari melihat sang ayah pulang dalam keadaan mabuk. Bukankah hal seperti ini harusnya dikaji terlebih dahulu oleh aparat penegak hukum? Bukan serta merta menjatuhi hukuman.
Viralnya curhatan V di media sosial dan gaduhnya masyarakat yang lantang menyuarakan keadilan bagi V menggugah aparat penegak hukum untuk mengkaji ulang kasus tersebut. Buntutnya, Jaksa Agung Pengadilan Negeri Jawa Barat melakukan mutasi terhadap Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dwi Hartanta sebagai Jaksa Fungsional yang menangani kasus V tersebut.
Mutasi ini juga berbuntut pada pengambil alihan kasus V yang sebelumnya sempat divonis 1 tahun penjara oleh Dwi Hartanta, selaku aparat yang menangani dan memutusi perkara tersebut. Tidak hanya melakukan mutasi, pihak Pengadilan Negeri Jawa Barat juga akan melakukan penyidikan kepada 9 orang yang semuanya berasal dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Negeri Karawang, serta jaksa penuntut umum.
Dari hasil penyidikan tersebut, ditemukan bahwa ke-9 aparat tersebut telah melewatkan asas sense of crisis atau kepekaan dari proses pra penuntutan hingga tahap penuntutan. Tidak hanya itu, mereka juga terbukti melewatkan Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum tanggal 3 Desember 2019 Pada ketentuan Bab II pada Angka 1 butir 6 dan butir 7, hingga Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Perkara Pidana.