Analisis Putusan Sambo di Mahkamah Agung

Analisis Putusan Sambo di Mahkamah Agung – Kasus hukum yang menyeret nama Eks Kadiv Propam Ferdi Sambo atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Josua Hutabarat kini masih bergulir dan tengah memasuki babak baru. Jika pada putusan pertama Sambo didakwa hukuman mati, namun putusan MA pada melalui putusan kasasi 813K/Pid/2023 berhasil mengubah dakwaan tersebut. Perubahan dakwaan ini berdasarkan pengajuan banding yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Sambo.

Perubahan hukuman Sambo ini berubah jadi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Tentu, hal ini sempat menjadi polemik di masyarakat dimana banyak publik yang kecewa dengan perubahan ini. Namun, apa sebenarnya dasar pertimbangan perubahan tersebut? Yuk kita bahas disini!

Analisis Putusan Sambo di Mahkamah Agung: Dari Pidana Mati Jadi Penjara Seumur Hidup

Secara umum, Kitab Undang-undang Hukup Pidana (KUHP) memandang hukuman mati adalah hukuman yang sifatnya tidak pokok. Sehingga membuat hukuman mati ini tidak lagi relevan. Maka, ini membuat politik hukum pemindanaan di Indonesia fokus untuk mengubah pola retributive menjadi rehabilitative.

Oleh sebab itu, karena fungsinya adalah sebagai rehabilitative, maka hubungan mati di sejumlah kasus berubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Terlebih, mengingat sepak terjang Sambo di dunia Kepolisian Indonesia, yang sudah mencapai angka 30 tahun pengabdian.

Perubahan ini tentu bisa membuat Ferdi Sambo bernapas lega setelah sebelumnya permohonan kasasi Sambo juga ditolak oleh Kejaksaan. Nah, terdapat dua Analisa terhadap perubahan putusan ini. Apa Saja?

Analisa Pertama

Analisa pertama terhadap perubahan pidana Ferdi Sambo berdasar pada UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang mengatur tentang tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana, serta politik hukum pidana nasional. Sehingga pidana mati dipandang sebagai pidana khusus, bukan lagi sebagai pidana pokok. Dengan begitu, semangat politik hukum pemidanaan di Indonesia bergeser dari retributif/pembalasan/ex stationis menjadi rehabilitative, penyelesaian konflik, penciptaan rasa aman dan damai, serta penumbuhan rasa penyelesan terdakwa.

Dalam rangkaian kasus yang menjerat terdakwa, pihak MA kembali melihat secara objektif dan proporsional atas kesalahan terdakwa. Maka, putusan pidana harus mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, dan normatif serta adil dan bermanfaat bagi korban/keluarganya, terdakwa dan masyarakat pada umumnya.

Analisa Kedua

Pertimbangan selanjutnya berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa, “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Riwayat hidup dan keadaan sosial terdakwa juga tetap harus dipertimbangkan.

Dalam poin ini, MA melihat Ferdi Sambo pernah berjasa tinggi menjaga keamanan dan ketertiban Republik Indonesia ketika dirinya masih menjabat sebagai personil kepolisian hingga jabatan terakhirnya sebagai Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam). Selama 30 tahun mengabdi, Sambo juga bahkan telah berhasil menyelesaikan sejumlah kasus vital di Indonesia.

Disini, Sambo juga telah dengan tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan. Sehingga pernyataan ini selaras dengan asas tujuan pemidanaan yang ingin menumbuhkan rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana yang tertera dalam KUHP.

Konsultasi Seputar Hukum, Pendampingan dan Layanan Profesional?

Apakah Anda ingin sekedar konsultasi terkait hukum? Atau membutuhkan layanan pendampingan hukum secara professional? Jangan ragu untuk hubungi tim kami. Untuk info lengkapnya, akses website kami di kantorpengacarabhp.com. Salam keadilan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *