Referendum yang digelar Turki pada Minggu (16/4/2017) itu, mau tak mau membelah negeri tersebut menjadi dua kubu.
Wilayah Anatolia, yang merupakan jantungnya Turki, memberikan dukungan terhadap niat Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah konstitusi.
Sementara, kawasan di pesisir Laut Aegea dan Laut Tengah serta kawasan mayoritas Kurdi di wilayah tenggara negeri itu semua menentang Erdogan.
Hasilnya referendum juga menunjukkan bahwa kemenangan kubu Erdogan juga tidak menunjukkan sikap mayoritas rakyat Turki.
Keterbelahan Turki langsung terlihat ketika kelompok oposisi di beberapa distrik kota Istanbul turun ke jalan menunjukkan kekecewaan mereka.
Semmentara di ibu kota Ankara dan kota terbesar ketika Turki, Izmir, kelompok pendukung “tidak” justru unggul di berbagai TPS.
Partai-partai oposisi juga langsung bersuara menentang hasil referendum yang mereka anggap diwarnai kecurangan.
Baca: Pertaruhan Politik Turki Bernama Referendum
Partai HDP yang pro-Kurdi dengan lantang menyebut adanya manipulasi suara sekitar 3-4 persen.
Sementara partai CHP sudah menyatakan, hasil referendum tidak sah dan segera mengajukan protes.
Situasi ini akan menjadi pekerjaan rumah Erdogan meski dengan kemenangan ini menjamin wewenang dia sebagai kepala negara akan bertambah besar.
Pekerjaan rumah terbesar bagi Erdogan adalah merangkul semua golongan, terutama kelompok yang kalah, agar mau menerima hasil referendum tersebut.
Jika upaya rekonsiliasi gagal, sangat mungkin kondisi keamanan Turki yang beberapa waktu terakhir diguncang serangan teror dan masih berlanjutnya pemberontakan Kurdi akan semakin buruk.
Hubungan dengan Uni Eropa
Referendum ini juga banyak disebut akan memengaruhi masa depan hubungan Turki dengan Uni Eropa.
Apalagi, menjelang digelarnya referendum hubungan Turki dan beberapa negara Uni Eropa, khususnya Jerman dan Belanda, memburuk.
Situasi itu semakin diperparah dengan berbagai komentar keras Presiden Recep Tayyip Erdogan terhadap blok ekonomi Eropa itu.
“Eropa adalah benua yang sedang membusuk, tak lagi menjadi pusat demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan. Hanya ada represi, kekerasan, dan Nazisme,” kata Erdogan pekan lalu.
Meski terus menghujani Uni Eropa dengan kecaman, hasrat Turki bergabung dengan pakta ekonomi itu belum surut.
Baca: Referendum Turki Dimenangkan Erdogan, Oposisi Berniat Protes
Bahkan Erdogan menegaskan, upaya Turki untuk bergabung degan Uni Eropa akan dilanjutkan setelah referendum digelar.
Sejumlah analis menilai, retorika Erdogan terhadap Uni Eropa hanyalah cara dia untuk memastikan pendukungnya memilih “ya” dalam referendum.
“Hubungan Turki-Uni Eropa tak pernah berjalan mulus, tetapi kondisi terakhir memperburuk hubungan itu,” kata Jean Marcou, guru besar di Universitas Sains Po di Grenoble, Perancis.
“Kita tak akan pernah yakin apakah hubungan Turki-Uni Eropa akan bertahan hingga beberapa bulan ke depan,” tambah Marcou.
Atribusi Nazi yang digunakan Erdogan sebagai bentuk kecaman terhadap Uni Eropa bahkan dianggap sebagai salah satu sinyal menjauhnya Ankara dari Brussels.
“Istilah itu (Nazi) terlalu berlebihan, karena membuka luka lama adalah hal yang paling buruk yang bisa Anda lakukan di Eropa,” ujar Marc Pierini, mantan dubes Uni Eropa untuk Ankara.
” Turki sudah membakar jembatan itu, ketika mereka menyinggung masalah personal,” tambah Pierini yang kini menjadi analis lembaga riset Carnegie Europe di Brussels.
Turki dan Uni Eropa saling membutuhkan
Kenyataannya, meski hubungan tak selalu mesra, Uni Eropa dan Turki suka atau tidak saling bergantung satu sama lain.
Uni Eropa membutuhkan Turki sebagai negara penyangga dari kawasan penuh konflik, Timur Tengah.
Bahkan, meski tak menjadi anggota Uni Eropa, Turki menjadi anggota Pakta Pertahanan Antlantik Utara (NATO).
Dalam pakta militer ini, Turki menjadi negara dengan kekuatan tempur terkuat kedua setelah Amerika Serikat.
Turki juga menjadi penampung para pengungsi Timur Tengah yang hendak menuju ke Eropa. Bahkan, Turki sudah menekan kesepakatan dengan Uni Eropa terkait masalah pengungsi ini.
Di sisi ekonomi, Uni Eropa menjadi pasar utama industri Turki. Sebanyak 44,5 persen ekspor Turki ditujuan ke Uni Eropa disusul Irak, AS, Swiss, Uni Emirat Arab, dan Iran.
Harian terbitan Turki, Daily Sabah menyebut, tahun lalu ekspor Turki ke Uni Eropa mencapai nilai 142,6 miliar dolar AS. Sedangkan impor mencapai angka 198,6 miliar dolar AS.
Harian ini juga menuliskan bahwa dari 28 negara anggota Uni Eropa, sebagian besar ekspor Turki ditujukan ke Jerman dengan nilai 1,19 miliar dolar.
Sementara untuk impor, Jerman menduduki peringkat kedua dengan nilai impor 1,81 miliar dolar AS, di bawah China.
Jika dilihat dari data perekonomian ini, maka kecil kemungkinan bagi Turki untuk meninggalkan Uni Eropa.
Jika Turki meninggalkan Uni Eropa maka hampir separuh pendapatan negeri itu akan hilang dan tentu tak mudah untuk mencari pasar baru.
Setelah memenangkan referendum pekerjaan rumah kedua bagi Erdogan adalah kelanjutan hubungan Turki dan Uni Eropa.
Kita lihat apakah Erdogan akan memilih kacamata politik atau ekonomi untuk menilai masa depan relasi antara negerinya dan Benua Biru.
Sumber: Kompas.com