Meski curva kasus penyebaran covid-19 di Tanah Air sudah mulai melandai, masyarakat tidak sepenuhnya bebas untuk bisa kembali beraktivitas seperti sediakala. Salah satu bentuk keterbatasan tersebut nampak dalam kebijakan wajib PCR test untuk moda transportasi udara. Kendati demikian, pemerintah optimis bahwa sejumlah kelonggaran yang bertahap mereka keluarkan adalah sebuah bentuk perlindungan agar curva penyebaran covid tidak lagi meningkat.
Kewajiban Tes PCR untuk moda transportasi udara dirasa sangat janggal lantaran pesawat menjadi salah satu jenis transportasi paling steril dan aman. Terlebih, sirkulasi udara di dalam cabin juga dirasa jauh lebih maksimal ketimbang moda transportasi lainnya. Kejanggalan tersebut semakin diperparah dengan biaya tes PCR yang terbilang selangit. Padahal, sejumlah negara tetangga berani memberikan tarif tes PCR dengan harga yang relatif terjangkau.
Lalu, benarkan tes PCR menjadi salah satu alat perlindungan efektif untuk melindungi masyarakat dari penyebaran covid? Atau justru bisa menjadi senjata yang bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh sejumlah “oknum” untuk mencari keuntungan? Tanda tanya besar muncul ke publik dengan derasnya kritik terkait kebijakan tersebut. Terlebih, penurunan curva penyebaran serta mulai kembali dibukanya sejumlah sektor, seperti halnya sektor pariwisata, terasa tidak berarti ketika masyarakat masih harus disulitkan dengan kewajiban PCR.
Tes PCR Dengan Risiko Diskriminatif dan “Permainan”
Banyaknya oknum yang bermain dengan berupaya mencari “keuntungan” di tengah kewajiban tes PCR tentu membuat publik lantang bersuara akan kebijakan tersebut. Sejumlah kritik bahkan sempat tersampaikan dari sejumlah pihak, salah satunya dunia medis. Sejumlah dokter dan pakar kesehatan banyak menegaskan bahwa sejatinya PCR bukanlah alat yang tepat untuk syarat administratif.
Terlebih, untuk melindungi dari penyebaran covid, tidak hanya bisa dibuktikan dengan hasil tes PCR. Parahnya, jika kebijakan ini terus dipertahankan, yang dikhawatirkan adalah banyaknya oknum yang “bermain” dengan berusaha mencari keuntungan. Tentu, bentuk keuntungan tersebut beraneka ragam, mulai dari jual beli sertifikat pcr palsu, harga pcr yang tidak masuk akal dan berbagai bentuk kecurangan lainnya.
Terlebih, kebijakan wajib test PCR bisa jadi penghalang pulihnya sejumlah sektor yang sejatinya mulai dinormalkan oleh pemerintah. Salah satu kelonggaran mulai nampak pada kegiatan pariwisata. Jika pemerintah memang segera ingin memulihkan sektor pariwisata di sejumlah wilayah strategis, seperti Bali misalnya, bukankah kewajiban ini sangat menyulitkan?
Selain mekanisme prasyarat tes PCR yang sangat menyulitkan, harga test PCR juga dirasa sangat tidak masuk akal dan terasa berlebihan. Bagaimanapun juga, pemerintah haruslah bisa adil dan mengambil kemungkinan, jika bisa saja tidak semua penumpang moda transportasi udara adalah orang-orang kaya. Bisa jadi, pesawat adalah satu-satunya alat transportasi yang mereka harus mereka tempuh untuk berbagai kebutuhan urgent mereka. Bagaimanapun juga menggunakan syarat wajib test PCR masih harus perlu dikaji dan dipertimbangkan oleh pemerintah.
Dampak Kebijakan Tes PCR
Selain sektor pariwisata yang merasa dirugikan atas kebijakan tes PCR, sektor transportasi, khususnya transportasi udara juga merasakan hal yang sama. Selama pandemi, sejumlah maskapai penerbangan bahkan terancam gulung tikar lantaran menurunnya jumlah penerbangan. Kebijakan merumahkan pegawai juga terpaksa harus dilakukan oleh sejumlah maskapai.
Sejumlah wilayah yang populer menjadi kawasan wisata juga belum 100% pulih. Kembali lagi, kewajiban PCR membuat sejumlah calon wisatawan enggan karena terasa sangat memberatkan, terlebih dalam segi pembiayaan.
Pemerintah Mulai Cabut Kebijakan Tes PCR
Per Senin, 1 November 2021, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak lagi memberlakukan kewajiban test PCR untuk penumpang pesawat rute penerbangan Jawa-Bali. Hal ini tentu mendapatkan sambutan baik dari sejumlah maskapai penerbangan dan masyarakat yang terbiasa menggunakan moda transportasi ini.
Kendati terdapat sejumlah kelonggaran dalam syarat penerbangan rute Jawa-Bali, sejumlah persyaratan yang terasa janggal kembali diutarakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan Tes PCR untuk moda transportasi darat sejauh 120 KM. Kebijakan ini bahkan berlaku tidak hanya untuk transportasi umum, melainkan juga untuk transportasi pribadi, seperti pengguna sepeda motor dan mobil pribadi.
Meski sebagian masyarakat merasa senang dengan tidak lagi kewajiban tes PCR untuk penumpang pesawat, namun kebijakan baru tersebut menimbulkan polemik bagi sebagian masyarakat lainnya. Lagi-lagi, risiko diskriminatif dan kecurangan-kecurangan bisa jadi muncul lantaran kebijakan tersebut.