Cita-cita untuk memiliki perlindungan hukum terkait tata kelola internet yang paripurna kembali gugur. Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seharusnya menjadi momentum perubahan untuk menciptakan regulasi pemanfaatan teknologi yang berperspektif hak asasi manusia, justru membatasi aktivitas masyarakat sipil di dunia maya. Meskipun telah melalui dua kali rapat kerja dan lima kali rapat Panitia Kerja Komisi 1 DPR, Pembahasan RUU Perubahan ITE masih menghasilkan regulasi yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi pengguna internet dan kemunduran dalam hukum acara pidana.
Sebagai salah satu regulasi yang mengatur tata kelola internet di Indonesia, UU ITE masih menimbulkan sejumlah permasalahan. Sejak disahkan menjadi undang-undang, UU ITE telah digunakan untuk mengkriminalisasi sebanyak 200 pengguna internet terutama atas tuduhan pelanggaran Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE. Sehingga proses amandemen yang diinisiasi pihak pemerintah (khususnya Kementerian Komisi Informasi) dapat menjadi batu loncatan untuk menciptakan regulasi pengaturan internet yang komprehensif termasuk irisan pembatasan hak yang proporsional dan sah sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Namun poin perubahan RUU ITE sejatinya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan dukungan atas pertumbuhan informasi dan teknologi digital. Hasil akhir amandemen tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan inti yang lahir dari UU ITE hari ini.
Elsam, LBH Pers, ICJR sebagai kumpulan masyarakat sipil yang mendukung demokrasi digital mengkritisi poin-poin hasil amandemen UU ITE sebagai berikut:
Pertama, Mempertahankan Pasal Pencemaran Nama Baik dalam Pasal 27 ayat 3 adalah melanggengkan ancaman kebebasan berekspresi. Pasal karet yang dinilai over-kriminalisasi ini justru masih dipertahankan dalam UU ITE. Revisi ini belum melakukan perubahan substansial terkait penjelasan yang membedakan frasa “mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses” dan pula frasa “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Meskipun telah menegaskan bahwa pasal ini adalah delik aduan yang merujuk Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, secara prosedural hal ini masih menimbulkan kekeliruan karena perbedaan ancaman antar kedua regulasi tersebut sangat siginifikan. Kendati amandemen UU ITE telah mengurangi ancaman pidana menjadi 4 (empat) tahun untuk mencegah tindakan penahanan langsung, hal ini masih jauh lebih berat ketimbang ancaman maksimal 9 bulan penjara yang diatur dalam pasal pencemaran nama baik di KUHP. Selain itu, KUHP sendiri juga masih dalam proses amandemen di DPR.
Kedua, duplikasi terhadap tindak pidana pemerasan dan pengancaman. Dalam RUU ITE ditemukan dua bentuk tindak pidana terkait pemerasan dan pengancaman yaitu Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 29 yang sebenarnya memiliki syarat tindakan yang sama. Meskipun amandemen menegaskan untuk merujuk pada ketentuan dalam pasal 368 dan Pasal 369 KUHP, secara substansial KUHP sebenarnya masih dapat menjangkau perbuatan yang lakukan dengan medium internet. Perubahan ancaman pidana yang diringankan menjadi 4 tahun tersebut juga belum menjawab persoalan karena dalam KUHP diatur pidana penjara paling lama 9 bulan untuk tindak pidana pemerasan dan 4 tahun untuk pidana pengancaman.
Ketiga, Kemunduran dalam Hukum Acara Pidana Khususnya dalam Proses Penahanan. Ide untuk mengharmonisasi ketentuan penangkapan penahanan sesuai hukum acara pidana dalam UU ITE tidak dapat terlaksana dengan adanya perubahan pada pasal 43 ayat 6 UU ITE. Amandemen tersebut justru menghapuskan kemajuan dalam hukum pidana yang mengharuskan penyidik untuk mendapatkan penetapan terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri melalui penuntut umum. Dengan menghilangkan ketentuan ini, maka terbuka lebar tindakan penahanan yang sewenang-wenang dari aparat penegah hukum.
Keempat, Definisi terkait Cyber Bullying yang jelas dalam Pasal 29 ayat 4. Amandemen UU ITE memasukkan kejahatan cyber bullying sebagai pidana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (4). Meskipun bentuk kejahatan ini merupakan salah satu bentuk kejahatan siber dalam Konvensi Budapest, definisi pidana tersebut harus diuraikan secara jelas.
Oleh karena proses pembahasan yang tertutup dari pantauan public, tidak menutup kemungkinan ketentuan mengenai cyber bullying tidak sesuai dengan prinsip lex certa dan lex strictica dan lex scripta yang menyebabkan salah tafsir dan penggunaan yang sewenang-wenang.
Elsam, LBH Pers, dan ICJR menilai draft akhir RUU Perubahan UU ITE belum memberikan perlindungan hukum berinternet yang menjadi solusi dalam permasalahan dunia maya di Indonesia. Revisi UU ITE seharusnya mampu menjadi payung hukum untuk mengatur segala aspek teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia termasuk perlindungan hak asasi dalam ruang online. Misalnya dengan memberikan pengaturan tata kelola konten internet sesuai dengan prinsip hak asasi manusia seperti delegasi pengaturan , perlindungan data pribadi, dan tata cara itersepsi komunikasi.
Selanjutnya regulasi ini harusnya menghapus seluruh bentuk duplikasi pengaturan pidana khususnya pencemaran nama baik dan sepenuhnya dikembalikan pada KUHP beriringan dengan pembahasan pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sedang berlangsung di DPR sekarang.
Sumber: http://membunuhindonesia.net/2016/09/ruu-perubahan-uu-ite-masih-melanggar-kebebasan-berekspresi/