Salah satu perdebatan Perppu 2/2017 tentang Pembubaran Ormas yaitu alasan kegentingan yang memaksa untuk dikeluarkannya Perppu. Bagaimana dalam kacamata hukum perundang-undangan?
Dari sudut pandang hukum perundang-undangan, untuk menilai apakah perppu konstitusional atau inkonstitusional, maka dapat digunakan 2 tolok ukur yaitu tolok ukur formil dan tolok ukur materiil. Ukuran formil perppu salah satunya menilai konteks lahirnya sebuah Perppu, apakah genting atau tidak.
“Tafsir ‘kegentingan yang memaksa’ sebagai syarat dapat ditetapkannya Perppu terpenuhi, maka hal tersebut dapat merujuk kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya telah membuat penafsiran yang mengikat perihal makna ‘kegentingan yang memaksa’ tersebut,” kata ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (17/7/2017). Menurut putusan MK itu, kondisi kegentingan yang memaksa adalah:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Penafsiran kegentingan yang memaksa tersebut dalam kasus Perppu Perubahan UU Ormas sesungguhnya telah terpenuhi mengingat secara faktual saat ini terdapat organisasi masyarakat yang ideologi dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Bayu.
Alasan formil di atas dinilai sebagai legal formal yang sah dan cukup kuat melegitimasi Perppu Pembubaran Ormas.
Perppu 2/2017, Ahli: MK Sudah Beri Tafsir Kegentingan yang Memaksa. “Keberadaan Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 meski pun telah melahirkan tuntutan dari masyarakat secara luas untuk membubarkannya namun dengan UU Ormas yang lama tidak dapat dibubarkan mengingat UU Ormas yang lama yaitu UU 17/2013 khususnya Penjelasan Pasal 59 ayat 4, ternyata hanya mengatur yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme,” ucap Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Nah, bagaimana bila ada Ormas yang ingin mengganti ideologi negara, tetapi bukan dengan ateisme dkk? Hal itu dinilai yang belum terakomodasi dalam UU 17/2013 sehingga muncul Perppu 2/2017. Alasan tersebut dalam ranah hukum disebut alasan materil lahirnya Perppu.
“Ke depan, seiring perkembangan zaman, sangat mungkin akan muncul ormas-ormas baru yang mengusung paham-paham lain yang tidak dapat didefinisikan saat ini. Namun paham tersebut ingin mengganti Pancasila. Misalnya ormas yang mengusung ideologi melegalkan perkawinan sejenis dan lain-lain,” pungkas Bayu.
Sumber: Detik.com