KPK siap menguraikan lebih lanjut pada proses persidangan terkait aliran dana proyek pengadaan KTP Elektronik atau e-KTP yang dialokasikan kepada partai politik tertentu.
“Memang ada bagian dalam dakwaan di mana dijelaskan di sana salah seorang saksi menyampaikan kepada terdakwa, bahwa ada rencana atau akan dialokasikan sejumlah dana sekitar Rp 500 miliar yang disebut oleh seorang saksi tersebut ada alokasi kepada partai politik tertentu dan sejumlah orang,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin 14 Maret 2017. Tentu saja, kata Febri, rencana dan alokasi itu akan diuraikan lebih lanjut pada proses persidangan mengenai sejauh mana realisasi dari rencana tersebut.
“Selanjutnya, tentu kami akan lihat lebih jauh kalau memang ada realisasinya, realisasinya sudah diterima siapa saja apakah organisasi yang menerima dalam hal ini institusi atau pun personal-personal yang ada di institusi tersebut,” tutur dia seperti dilansir dari Antara.
Hal tersebut, menurut Febri perlu dibedakan lebih lanjut karena jika bicara soal pidana korporasi maka akan bicara banyak hal.
“Apalagi terkait dengan partai politik tentu kami juga perlu pertimbangkan Undang-Undang tentang Partai Politik di satu sisi dan di sisi lain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ucap dia.
Ia mengatakan, KPK tidak ingin berandai-andai dan akan dilakukan klarifikasi kembali beberapa informasi yang ada pada dakwaan kasus korupsi e-KTP itu.
“Kemajuannya bagaimana dan hal yang lebih rinci dari klarifikasi itu nanti bisa kita lihat bersama-sama di persidangan,” kata Febri.
Sebelumnya, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket e-KTP tahun anggaran 2011-2012.
“Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat 10 Maret 2017.
Ia mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.
“Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan,” tutur dia.
Menurut dia, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.
Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek e-KTP tersebut.
Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran e-KTP pada 2010 dengan anggaran Rp 5,9 triliun. Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah:
Pertama, 51 persen atau sejumlah Rp 2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.
Kedua, Rp 2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp 365,4 miliar.
Lalu, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261 miliar, Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar, Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp 574,2 miliar.
Sedangkan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp 783 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Selanjutnya memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sumber: Liputan6.com