Akademisi hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, merespons foto viral jaksa memegang tulisan #OTTRecehan. Dirinya merasa terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) di kejaksaan itu terjadi karena bentuk pengawasan yang tidak berjalan baik.
“Sistem pengawasan sepertinya tidak berjalan, program pembaharuan ataupun renumerisasi juga tidak dapat menghentikan kebiasaan yang sudah membudaya. Program pengawasan apapun tampaknya tidak sanggup untuk memberantas budaya koruptif ini,” papar Fickar dalam pesan singkatnya kepada detikcom, Selasa (13/6/2017).
Menurutnya berapa pun nilai dari tindak korupsi yang berhasil diungkap tidak akan menghapuskan hukuman terhadap aparat penegak hukum. Karena akan berimbas pada ketidakpercayaan publik terhadap lembaga adhyaksa itu. “Berapapun jumlah yang di-OTT tidak menghapuskan hukuman terhadap penegak hukum, karena dampak yang dilakukan sangat menjatuhkan dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat,” imbuhnya.
Fickar bahkan menyarankan hukuman maksimal bagi penegak hukum yang terlibat korupsi berupa hukuman mati. Karena harus ada upaya penjeraan agar budaya koruptif bisa dirubah.
“Hukumannya harus maksimal kalau perlu khusus hukuman untuk penegak hukum diubah jadi hukuman mati, agar ada penjeraan.
Budaya koruptif hanya bisa dirubah dengan tauladan dari atasan, jika atasannya masih suka bermain-main politik dengan memanfaatkan jabatan, jangan harapkan clean goverment akan terwujud,” tegasnya.
Hal senada juga dilontarkan, peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, menurutnya terlalu prematur jika menyebut nilai OTT yang berhasil diungkap KPK terhadap lembaga kejaksaan hanya recehan.
“Terlalu prematur untuk mengatakan bahwa OTT KPK adalah OTT Recehan. Ini baru bagian awal. Saya yakin bahwa OTT ini hanya pintu masuk untuk membaca jaringan koruptif yang lebih besar,” katanya. Erwin menyarankan agar aparat penegak hukum tidak terfokus pada jumlah penindakan dari OTT yang dilakukan oleh KPK, melainkan pelaku atau oknum yang terlibat dari perkara tindak pidana korupsi itu. “Iya, Jangan terlalu fokus ke jumlahnya. Tapi fokus ke aktornya. Sekecil apa pun korupsi yang dilakukan, tetap harus ditangkap oleh KPK, apa lagi yang dilakukan oleh penegak hukum,” imbuh Erwin.
Sebelumnya, ada dua foto dengan hashtag #OTTRecehan. Seorang jaksa pria dan seorang jaksa wanita terlihat memegang sebuah kertas bertuliskan rasa kekecewaan.
“Kami terus bekerja walau anggaran terbatas, kami tetap semangat walau tanpa pencitraan. Kinerja kami jangan kamu hancurkan dengan #OTTRecehan,” begitu tulisan di salah satu foto.
Foto itu viral setelah KPK menangkap seorang oknum jaksa bernama Parlin Purba yang menjabat sebagai Kasi III Intel di Kejati Bengkulu. Dia ditangkap KPK bersama 2 orang lainnya yaitu Amin Anwari dan Murni Suhardi.
Mereka ditangkap KPK pada Jumat, 9 Juni lalu, di Bengkulu. Parlin diduga menerima suap dari Amin dan Murni berkaitan dengan pengumpulan data dan bahan keterangan serta proyek-proyek yang ada di Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Bengkulu.
KPK menyita uang Rp 10 juta dalam OTT itu. Namun KPK menyebut Parlin sebelumnya telah menerima Rp 150 juta terkait hal serupa.
Sumber: Detik.com