Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tentang Pasal Penghinaan Presiden rencananya Juli ini akan disahkan. Sempat menimbulkan pro dan kontra Rancangan KUHP yang telah disosialisasikan sejak 2019 tersebut akhirnya memasuki babak final pengesahan. Meski sejak 2 tahun silam, respon masyarakat mayoritas masih sama. Yakni, gencar menolak lantaran RKUHP yang dinilai menciderai kebebasan berpendapat dan kritik terhadap kinerja pemerintah.
Pemerintah dinilai setengah-setengah dalam melakukan sosialisasi RKUHP Pasal Penghinaan Presiden. Bagaimana tidak, momen sosialisasi yang harusnya mau menerima masukan substantif dan partisipasi aktif dari masyarakat nyatanya tetap diindahkan oleh pemerintah yang berwenang. Bahkan hingga menjelang pengesahan, draft RKUHP yang seharusnya sudah bisa diakses secara bebas oleh publik nyatanya masih nihil.
Tentu, hal ini semakin meningkatkan pesimisme publik terhadap ruang kebebasan sipil yang mulai terpenjara. Belum lagi, kasus kriminalisasi terhadap aktivis, pembela HAM hingga masyarakat umum yang berani menyuarakan pendapatnya semakin gencar muncul ke permukaan. Meski rancangan pasal ini sudah gencar disuarakan sejak kepemerintahan Presiden SBY dan masih lanjut berrgulir di dua periode Jokowi, nyatanya tanggapan masyarakat masih sama, yakni a Big No! Dan pemerintah, juga masih setia terhadap rancangannya, untuk tetap mengesahkan KUHP Pasal Penghinaan Presiden.
Poin-poin RKUHP Yang Mengancam Hak Asasi Berpendapat, Apa Saja?
Bukan tanpa alasan, masyarakat gencar mensuarakan tolakan terhadap RKUHP adalah lantaran adanya poin-poin yang multitafsir. Poin-poin tersebut diantaranya:
1. Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 dan 219)
2. Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240 dan Pasal 241)
3. Pasal tentang penyiaran berita bohong (Pasal 262)
4. Pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Pasal 273)
5. Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354)
6. Pasal tentang pencemaran nama baik (Pasal 439)
7. Pasal tentang pencemaran orang mati (Pasal 446)
Ketujuh pasal tersebut berpotensi membatasi hak berekspresi dan kebebasan berpendapat. Bahkan, poin tersebut dikhawatirkan rentan dipolitisasi untuk merepresi gerakan-gerakan yang kritis atas kinerja pemerintahan. Padahal, berdasarkan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
RKUHP Sebagai Batas Keberadaban Masyarakat: Versi Menkumham
Diluar kritik keras pengesahan RKUHP, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasona Laoli menyebut bahwa RKUHP ada sebagai simbol batas keberadaban masyarakat. Bukan untuk membatasi kritik dan kebebasan berpendapat, melainkan justru untuk menjaga harkat dan martabat sesama umat manusia. Sebagai Bangsa Indonesia, adab sudah sepatutnya dijaga sesuai dengan dasar Pancasila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Menurut Menhumkam, pasal ini lahir untuk melindungi harkat dan martabat, bukan untuk melindungi atas kritik kinerja pemerintahan. Misalnya saja, rakyat masih bisa secara bebas untuk mengkritik kinerja seorang menteri, presiden atau pejabat publik, namun tidak patut rasanya jika ujaran yang dilontarkan adalah ujaran bersifat hal personal. Bagi Laoli, kebebasan yang sebebas-bebasnya adalah bukan kebebasan, melainkan tindakan anarki.
Untuk meredam kritik publik atas RKUHP Pasal Penghinaan Presiden, Menhumkam juga menegaskan jika pasal-pasal yang ada sama sekali tidak membatasi kritik atas kinerja aparatur negara. Bahkan, masyarakat memiliki ruang yang terbuka untuk menyampaikan aspirasi, kritik, saran, dan pendapat. Tidak cukup sampai disitu, pemerintah bahkan telah siap dengan prosedur konstitusional jika dirasa kritik yang disampaikan belum mendapatkan respon dari pemerintah.