Layaknya acara tahunan, aksi mogok kerja buruh selalu ramai muncul di setiap tahunnya. Aksi yang “terkesan” rutin dan merata dilakukan oleh seluruh buruh di Indonesia ini tak lain dan tidak bukan lantaran adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diberikan. Alih-alih mendapatkan kenaikan gaji secara rutin di setiap tahunnya, buruh justru harus menelan pil pahit harapan yang tak sejalan. Belum tuntas menerima kenyataan tidak ada kenaikan gaji, mereka pun harus kembali was-was dengan ancaman PHK.
Menurunnya produktivitas menjadi alasan klise kebanyakan pimpinan perusahaan untuk melakukan pemangkasan karyawan. Yang sejatinya, produktivitas tidak selamanya menjadi penyebab dan bahkan terkadang sama sekali tidak sejalan dengan perkembangan bisnis itu sendiri.
Miris! Ungkapan menurunnya produktivitas dibungkus sedemikian rupa untuk dijadikan alasan pemangkasan. Yang utama, pemangkasan terjadi sebagai upaya untuk penghematan biaya operasional yang ujung-ujungnya bertujuan untuk meningkatkan laba. Adanya teknologi yang bisa berpotensi menggantikan tenaga manusia, terutama buruh kasar dirasa pimpinan akan jauh lebih efektif dan hemat.
Memang, dilema penggunaan teknologi mesin yang bisa menggeser performa dan keberadaan tenaga manusia masih menjadi PR yang belum terselesaikan, terutama bagi sejumlah negara berkembang, salah satunya Indonesia. Dan sepanjang hal tersebut masih menjadi polemik, buruh kasar kembali harus menjadi korban dengan berbagai harapan yang kian rapuh.
Mogok Kerja sebagai Hak
Aturan ketenagakerjaan memang memberikan keleluasaan bagi pegawai untuk melakukan mogok kerja. Hal ini bahkan menjadi hak buruh ketika muncul ketimpangan antara pimpinan dan buruh. Namun sejatinya, bukankah hak ini adalah hak yang tidak selalu diinginkan oleh buruh setiap tahunnya? Yup! Daripada harus turun aksi dan melakukan mogok kerja, apakah lebih baik jika buruh bekerja sebagaimana mestinya. Dengan catatan, harapan-harapan mereka bisa terpenuhi dengan baik.
Namun pada kenyataannya, aksi mogok kerja menjadi ibarat aksi rutin setiap tahunnya. Upaya negosiasi antara perwakilan buruh dan pimpinan perusahaan yang dimediasi oleh pemerintah kerap kali gagal total. Langkah negosiasi sering mendapatkan jalan buntu lantaran tidak ditemukannya win win solution antara kedua belah pihak.
Kondisi krusial ini diperparah dengan delegasi pemerintah yang seharusnya tidak hanya menengahi namun juga mampu memberi solusi justru ikut diam seribu bahasa. Berbagai aturan yang muncul belakangan justru semakin syarat kontroversi yang dianggap sebagian besar oknum tidak berpihak pada harapan-harapan buruh.
Yang terbaru, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Tenaga Kerja justru memicu kontroversi. Pasalnya, kenaikan upah tidak terjadi atau secara bahasa politisnya, kenaikan upah tidak akan mengikuti kenaikan inflasi. Padahal, beban hidup buruh pun tidak sedikitpun berkurang. Biaya bahan pangan, perumahan, bahan bakar hingga biaya sekolah yang sejatinya semua biaya tersebut adalah biaya-biaya primer mengalami kenaikan di beberapa situasi.
Tidak Adanya Kenaikan Gaji Benarkah Karena Faktor Kondisi perusahaan?
Berbicara harapan buruh, mungkin memang menjadi sebuah harapan klise jika satu per satu harapan setiap buruh di Indonesia akan dipenuhi oleh perusahaan. Buruh pun menyadarinya. Setiap keputusan perusahaan tentu akan menimbulkan pro dan kontra dan tidak mungkin akan memuaskan semua pihak. Upaya duduk bersama dan berdiskusi layaknya sebuah formalitas semata agar terkesan pimpinan mau turun ke bawah dan mendengar aspirasi karyawannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Upah Karyawan juga kerap dipertanyakan oleh buruh. Pasalnya, produktivitas menjadi hal yang selalu menjadi penekanan dalam setiap poin pasalnya. Padahal, merujuk pada Undang Undang Dasar 1945, sejatinya penekanan terletak pada kehidupan yang layak.
Kembali lagi, kehidupan yang layak menjadi hal yang problematis, terlebih jika dihubungkan dengan komponen penunjangnya. Jika komponen yang ada bertambah, sudah seharusnya upah pun bertambah agar tekanan pada UUD 1945 bisa tuntas terselesaikan.
Faktanya, tidak meningkatnya upah minimum buruh atau dengan kata lain upah buru rendah menjadi salah satu daya tarik investor. Standar upah murah seringkali menjadi makanan empuk bagi investor untuk berbondong-bondong menginvestasikan hartanya. Tentu, hal ini sangat dinantikan oleh setiap pemimpin perusahaan.
Hal ini sejatinya berusaha diselesaikan oleh pemerintah dengan menetapkan standar upah minimum di semua wilayah. Standar ini lahir dari estimasi biaya hidup di wilayah tersebut. Namun, hal ini juga tidak 100% menyelesaikan masalah ketika banyak pengusaha yang mencari jalan pintas untuk pindah ke wilayah lain dengan standar upah yang lebih rendah untuk menarik investor. Akibatnya, ketimpangan buruh dan lapangan kerja menjadi problematika baru layaknya benang kusut.
Peningkatan Skill Yakin Bisa Jadi Daya Tawar?
Beruntungnya, masih banyak buruh di Indonesia yang mau berpikir waras dan positif terhadap pengusaha dan lapangan kerja di Tanah Air. Di tengah polemik UU Ketenaga kerjaan, masih banyak dari buruh yang berpikiran positif dan berusaha mencari solusi, bukan hanya berfokus pada aksi mogok dan aksi turun ke jalan.
Solusi tersebut adalah dengan peningkatan skill atau keterampilan yang bisa mereka gunakan sebagai daya tawar kepada pimpinan. Bagi mereka, meningkatnya skill dari “buruh kasar” menjadi “buruh terampil” adalah satu-satunya jalan yang bisa mereka perjuangkan untuk mendapatkan kenaikan upah yang rasional. Meski, mereka pun harus mau berkorban waktu, tenaga atau bahkan uang untuk peningkatan skill tersebut.