Kegaduhan kembali muncul di ruang publik lantaran pernyataan kontroversial Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan. Pernyataan tersebut terlontar ketika anggota Fraksi PDIP tersebut menghadiri diskusi daring bertajuk “Hukuman Mati bagi Koruptor, terimplementasikah?” pada kamis, November silam.
Pernyataan Arteria yang menimbulkan kegaduhan dan pandangan sinis publik tersebut adalah usulan untuk tidak adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) bagi aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim hingga kepala daerah. Menurutnya, aparat-aparat tersebut adalah simbol pembangunan dan penegak hukum negara, sehingga seharusnya, jika memang terbukti adanya tindak korupsi, tidak seharusnya menimbulkan kegaduhan. OTT yang selama ini dilakukan oleh KPK, dianggap Arteria bisa menimbulkan kegaduhan dan menganggu stabilitas pembangunan, ditambah dengan bisa menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Sebelumnya, pernyataan yang serupa juga dilontarkan oleh Bupati Banyumas, Achmad Husein. Kepala Daerah yang juga berasal dari fraksi PDIP tersebut meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi informasi kepada kepala daerah yang bersangkutan sebelum melakukan OTT. Menurut Husein, hal ini bisa meredam kegaduhan di masyarakat dan tentunya tidak akan mengganggu stabilitas pemerintahan di daerah.
Pernyataan kedua politisi PDIP tersebut jelas mengundang kontroversi di tengah kondisi negara yang tengah berbondong-bondong menangani tindak pidana korupsi. Sejumlah pasal dan tindakan, OTT salah satunya, terbukti bisa mengungkap sejumlah kasus dan menyeret banyak nama ke jurang penjara, Jelas, hal ini adalah sebuah prestasi. Namun, tak bisa dipungkiri juga, bahwa masih banyak oknum yang berusaha melakukan pelemahan terhadap upaya tindak pidana korupsi. Arteria dan Bupati Banyumas diantaranya, mungkin.
Pola Pikir Arteria Dahlan Terkait OTT
Menurut Arteria Dahlan, penangkapan terduga tersangka korupsi terutama yang melibatkan petinggi daerah, polisi, hakim dan jaksa haruslah melalui aksi yang jauh lebih menantang. Sementara OTT, adalah sebuah tindakan yang dianggap bisa menimbulkan kegaduhan dan sarat akan kriminalisasi.
Lebih lanjut, pria yang kini duduk di Komisi III DPR RI Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan tersebut mengatakan jika aparat penegak hukum dan pemimpin daerah adalah aset negara. Jelas, OTT sangat menciderai bangunan konstruksi hukum. Sudah seharusnya, proses pengungkapan kasus bisa dibuat se-profesional mungkin melalui asas-asas penegakan hukum yang fair yang jauh dari potensi politisasi dan kriminalisasi.
Bukan bermaksud untuk pro koruptor, namun Arteria menganggap masih ada jalur yang lebih intelek ketimbang harus melakukan OTT. Jalur tersebut adalah melalui pengawasan lingkup internal yang ia sebut sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Menurutnya, APIP inilah nanti yang bertugas mengawasi dan kemudian mengingatkan jika aparat yang bersangkutan terdeteksi melakukan pelanggaran. Tentunya, para terduga tersebut bisa dikenai sanksi sesuai dengan perbuatannya, tidak serta merta dengan sanksi pidana.
Singkatnya, jika mereka terbukti korupsi dan merugikan negara, maka APIP, melalui konstitusinya, mempunyai hak untuk mengambil kembali kerugian negara tersebut. Bahkan, yang bersangkutan juga bisa terancam turun jabatan hingga dilakukan pemecatan, sesuai dengan kadar kesalahan yang ia lakukan. Namun, dengan tidak adanya OTT, maka rakyat pun tidak gaduh, dan pembangunan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pola Pikir “Ngawur” Arteria Dahlan Tentang OTT
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terbukti sukses mengungkap kasus-kasus tindak pidana korupsi. Bahkan, OTT mampu menunjukkan bukti kongkrit adanya tindak kejahatan plus terseretnya sejumlah nama terduga lainnya yang selama ini terbungkam. Bahkan tak jarang, meski OTT digelar di tingkat daerah, banyak pula yang akhirnya merembet ke kasus-kasus dan nama di tingkat nasional. Bukankah hal ini sebuah prestasi?
Lebih lanjut, berdasarkan UU tentang Tindak Pidana Korupsi dan Penegakan Hukum, sudah seharusnya jika hukum tidak boleh dibedakan, sekalipun hal tersebut menjerat aparat penegak hukum. Petinggi daerah, hakim, polisi dan jaksa memiliki posisi yang sama di mata hukum dengan elemen masyarakat lainnya. Spesialisasi penanganan kasus, terutama kasus tindak pidana korupsi sama sekali tidak dibenarkan dengan alasan apapun.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana bahkan mengaku pola pikir Arteria Dahlan “ngawur”. Seharusnya, politisi setara Arteria bisa memahami maksud dari dasar filosofi penegakan hukum bahwa “equality before the law” atau semuanya setara di mata hukum, sekalipun itu adalah aparat penegak hukum.
Bahkan, ungkapan bahwa OTT bisa menimbulkan kegaduhan perlu dipertanyakan. Pasalnya, kegaduhan pada saat OTT selama ini muncul bukan karena aksi OTT nya, melainkan lantaran adanya pihak-pihak yang berusaha menghalangi tindakan penegakan hukum. Entah dari tersangka yang bersangkutan atau mungkin oknum-oknum lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 No. 19 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi, OTT bahkan legal dan telah diatur secara rinci oleh hukum. Tentunya, yang boleh melakukannya adalah lembaga formal yang dalam hal ini adalah wewenang KPK.
Hal senada juga diungkapkan oleh eks penyidik KPK, Novel Baswedan yang menganggap pemikiran Arteria Dahlan tersebut bengkok. Secara eksplisit, Arteria menginginkan bahwa negara harus tetap bisa melindungi harkat dan martabat para penegak hukum yang terduga terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hingga spesialisasi penegakan hukumnya harus tetap dilakukan. Padahal menurut Novel, sudah semestinya tidak ada spesialisasi dalam penegakan kasus korupsi, terlebih jika dilakukan oleh aparat penegak hukum.