Polri menjanjikan gelar perkara akan berlangsung terbuka untuk publik, terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilekatkan kepada Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Hal ini pun menimbulkan pro dan kontra.
Meski demikian, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, meminta hal itu tidak menjadi perdebatan. Sebab, itu bagian dari kinerja Kepolisian dalam melakukan penyelidikan.
Baca Juga
Alasan Polri Gelar Perkara Kasus Ahok secara Terbuka
Lemkapi: Ekspose Kasus Ahok Terbuka, Sejarah Pertama Kali Polri
Kapolri: Proses Hukum Ahok Selesai Dalam 2 Pekan
“Pada tahap penyelidikan tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya kepolisian sering melakukan gelar perkara. Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana,” ucap Ismail kepada Liputan6.com, Kamis (10/11/2016).
Karena itu, menurut Ismail, jika masih diperdebatkan, justru itu hal yang keliru. Sebab, keadaan Ahok yang terlihat “dihakimi” secara terbuka oleh sebagian masyarakat, maka dengan gelar perkara terbukalah untuk membuktikan segala tudingan.
“Dalam situasi di mana BTP (Basuki Tjahaja Purnama) telah ‘dihakimi’ secara terbuka melalui aksi-aksi massa, maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan gelar perkara terbuka. Sehingga independensi penyidik bisa dikontrol. Dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan juga secara implisit dimungkinkan sebagaimana diatur pada Pasal 71 Peraturan Kapolri No 14/ 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,” ungkap Ismail.
Akademisi Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah itu mengingatkan, gelar perkara terbuka nanti, hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan seperti pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri.
“Rencana pelibatan anggota Komisi III DPR yang juga akan dilibatkan dalam gelar perkara adalah kekeliruan karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum. Fungsi pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan dalam menjalankan perintah UU bukan mengawasi kasus-kasus secara spesifik. Keterlibatan Komisi III DPR hanya akan mengundang potensi politisasi lebih jauh dan mengikis independensi penyidik,” jelas Ismail.
Karena itu, dia kembali menegaskan, apa yang dilakukan pihak kepolisian, semata-mata hanya untuk menjawab keraguan masyarakat akan kinerja polisi.
“Gelar perkara terbuka adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum,”
Sumber: Liputan6.com