Nama sejumlah pejabat militer dan kepolisian bakal ikut meramaikan Pilkada serentak 2018. Beberapa dari mereka belum paripurna bertugas namun sudah menanggalkan seragamnya sejak dini demi politik. Partai politik-pun menyambutnya karena gagal membentuk kandidat dari kadernya sendiri.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Dr Muradi mengungkapkan faktor pendorong utama tentara dan polisi aktif maju dalam kancah politik adalah kepastian karier. Ia mencontohkan mantan Panglima Kostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi yang memilih mundur karena merasa kariernya tidak bakal berkembang.
“Dia tinggal pensiun tahun depan, tetapi sepertinya susah untuk menduduki jabatan bintang 4 menjadi Kepala Staf AD (KSAD),” kata dia ketika dihubungi detik.com, Kamis (28/12/2017).
Edy mengajukan pensiun dini pada 5 Desember lalu untuk maju dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Sumatera Utara. Ia diusung oleh koalisi Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Hal serupa juga dilakukan oleh Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri, Irjen Anton Charliyan. Mantan Kepala Polda Jawa Barat (Jabar) itu berharap dicalonkan PDI Perjuangan untuk maju dalam Pilgub Jabar. Tapi karena belum resmi menjadi calon, Anton belum mengajukan pensiun dini. Kini ia tengah getol menjalin silaturahmi ke sejumlah pesantren dan ulama di Jabar.
Selain faktor kepastian karier, menurut Muradi, kehadiran para perwira aktif di ajang Pilkada juga didorong oleh keinginan mencari tantangan baru, eksistensi diri, memberikan kontribusi kepada masyarakat, dan tantangan kompetisi politik.
Namun keputusan untuk hengkang dari institusi asal ini berdampak buruk bagi TNI dan Polri. Pertama, psikologi kesetiaan korps terganggu karena langkah ini dinilai oportunis. Kedua, sisa pengaruh dalam korps disalahgunakan ketika kompetisi.
“Tetapi ada juga dampak baiknya, paling tidak ada ruang baru yang diisi,” jelas Muradi. Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli, menganggap kehadiran polisi dan tentara sebagai calon kepala daerah sebagai kemunduran parpol dalam melakukan kaderisasi. Mereka tidak mampu mencetak kandidat dari kadernya sendiri sehingga selalu berharap figur dari luar, termasuk polisi dan TNI.
Cetak kandidat instan ini, kata dia, beresiko. Beberapa kepala daerah yang tidak memiliki kedekatan dengan partai pengusung seringkali beralih ke partai lainnya di tengah masa jabatan. Perseteruan antara parpol dan kepala daerah-pun lantas terjadi.
“Parpol tidak melaksanakan kaderisasi sehingga dalam rangka pencalonan mencari figur yang populer dan siap, atau punya sumber daya ekonomi. Jalan pintasnya mencari figur di luar kadernya,” ungkapnya.
Menurutnya perilaku instan ini juga menjadi pangkal politik pragmatis politik uang. Kabar soal setoran uang untuk pengusungan sering terdengar menjelang pencalonan.
Sumber: Kompas.com