Kelakar Bambang Widodo Umar tentang pusingnya memikirkan kesemrawutan kepolisian menjadi bagian akhir ujian terbuka disertasi doktor Rocky Marbun di Universitas Jayabaya Jakarta, Selasa (05/9) lalu. Bambang, pensiunan polisi yang kini menjadi akademisi, adalah ko-promotor Rocky Marbun dalam menyelesaikan disertasi berjudul ‘Tindakan Hukum Penyelidik/Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Sebagai Objek Gugatan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan’.
Berangkat dari pengalamannya menangani sejumlah perkara pidana di kepolisian, dan melihat perkembangan objek praperadilan yang tak jelas, Rocky Marbun sampai pada kesimpulan agar tindakan hukum (bestuurhandelingen) penyelidik/penyidik Polri bisa menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pria kelahiran Balikpapan 26 Juni 1976 itu melihat penyelidik/penyidik adalah pejabat pemerintahan.
Sebagai pejabat pemerintahan, penyelidik/penyidik harus bisa mempertanggungjawabkan segala tindakan hukum yang dilakukan saat menangani perkara pidana. Pertanggungjawaban itu adalah bentuk perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. “Bestuurhandelingen penyelidik dan penyidik harus bisa dipertanggungjawabkan sejalan dengan konsep hak asasi manusia,” tegas Rocky di hadapan sidang Senat Guru Besar dan tim penguji yang dipimpin Rektor Universitas Jayabaya, Amir Santoso.
Mengaju pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagian dari tindakan penyelidik/penyidik bisa dipersoalkan melalui upaya hukum praperadilan. Pasal 1 angka 10 KUHAP menyebutkan praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang beberapa hal. Pertama, sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Ketiga, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dalam praktik, objek praperadilan telah meluas. Penetapan tersangka, misalnya, sudah beberapa kali diuji lewat peradilan. Bahkan sudah pernah dikabulkan pengadilan. Dalam konteks ini, Rocky mengusulkan agar dipisahkan terlebih dahulu tindakan-tindakan hukum mana yang secara limitative telah ditetapkan sebagai objek sengketa dalam praperadilan. Di luar yang telah ditetapkan secara limitatif itulah terbuka peluang atau jalan mengujinya ke PTUN. Peluang untuk itu terbuka karena UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menganut konsep general administrative. UUAP telah memperluas cakupan objek TUN, yang semula berupa keputusan tertulis, kini meliputi pula tindakan administrasi pemerintahan. Tindakan dalam konteks ini adalah perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggara pemerintahan. Rocky Marbun berpendapat, penggunaan UUAP dalam proses penegakan hukum merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan sistem hukum sebagai sistem terbuka. Pertanyaan kuncinya, bagaimana menentukan batas-batas yang limitatif antara objek praperadilan atau objek TUN. “Kita harus kembali melihat pada peraturan perundang-undangan dan asas pemerintahan yang baik,” jelas Rocky kepada hukumonline.
Ia mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap asas bebas dari tekanan sebagai suatu asas hukum. Asas tadi merupakan turunan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Dengan asas itu penyelidik/penyidik kepolisian harus menghindari tindakan-tindakan yang bernada tekanan kepada tersangka atau saksi. Penyidik tak semata berpedoman pada KUHAP dan UU Kepolisian, tetapi juga UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Dalam konteks itulah Rocky mengusulkan agar Pemerintah dan DPR memasukkan ketentuan saksi terhadap penyidik Polri yang melanggar asas bebas dari tekanan dalam revisi KUHAP. Seperti diketahui, revisi itu sudah mulai disusun di Senayan. Rocky menunjuk Pasal 52 KUHAP sebagai payung hukumnya. Pasal ini mengatur: ‘Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim’. Pasal 117 ayat (1) KUHAP mengulangi pernyataan senada: ‘keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun’.
Sumber: Hukumonline.com