Ketua MK Bicara Perbedaan Demokrasi Negara Lain dalam Tatanan Konstitusi

Sebagai tuan rumah Simposium Mahkamah konstitusi (MK) se-Asia (Association of Asian Constitutional Court and Equivalent Institutions/AACC), Indonesia mendapat perhatian dari negara-negara peserta. Sebaliknya, Indonesia juga dapat belajar dari negara lain karena wakil negara lain diberi kesempatan memaparkan pandangan mereka tentang demokrasi, ideologi dan keberagamaan.

Ketua MK Indonesia, Arief Hidayat, mengatakan sistem praktek demokrasi di negara-negara lain yang memiliki Mahkamah Konstitusi pada umumnya sama dengan Indonesia. Tetapi ada perbedaan tertentu yang menunjukkan identitas nasional negara bersangkutan. “Di Indonesia sistem pengelolan negara berdasarkan pada teokrasi, demokrasi dan hukum. Sehingga, kita menggambarkannya denga segitiga sistem,” jelas Arief di Solo, Jawa Tengah (10/8). Arief menjelaskan para negara delegasi AACC menaruh demokrasi pada kedudukan paling atas di dalam hukum yang sekuler. Meskipun disebut sekuler, kehidupan di negara lain umumnya mengakui keberagaman, perbedaan pendapat, dan toleransi. “Namun timbul pertanyaan mengapa Indonesia sudah mempunyai konsep yang dibuat the founding fathers dengan meletakkan teokrasi posisi paling atas yaitu dengan menggunakan sinar ketuhanan, mempermasalahkan hal itu. Terlebih akhir-akhir ini ada intoleransi dan radikalisme,” katanya. Padahal, menurut Arief, sinar ketuhanan merupakan nilai yang universal mendasari demokrasi dan hukum. Jadi menurunya, sinar ketuhanan sudah masuk dalam seluruh aspek kehidupan. “Tetapi mengapa negara lain yang tidak menggunakan aspek sinar ketuhanan, malah menjadi bagus dalam praktek konstitusinya,” katanya.
“Itulah yang harus kiat koreksi lagi dan menjadi sebuah pelajara berharga. Sistem yang dianut oleh pendiri bangsa ini sudah sempurna tetapi implementasinya atau prakteknya belum secara penuh dapat dijalankan dengan baik dan maksimal,” tuturnya.
Arief mencontohkan, delegasi negara Azebaijan dikelola melalui prinsip hukum dan demokrasi dalam tatanan sekuler. Tidak ada disebut-sebut pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa meskipun penduduk Azerbaijan mayoritas muslim. Toleransi di negara bekas Uni Sovyet ini malah dinilai Arief lebih bagus. Konsep berdemokrasi di Indonesia sebenarnya sudah bagus, menempatkan teokrasi dalam kedudukan yang paling tinggi. Bahkan dalam berhukum pun dilakukan atas nama Tuhan Yang Masa Esa. Karena itu ia berharap toleransi di Indonesia ke depan lebih kuat. Pluralisme dalam masyarakat perlu dijaga dengan baik.
“Untuk itu konstitusi kita mendapat tantangan untuk lebih memperbaiki tatanan konstitusi. Jangan sampai, malah ingin mengganti dasar negara Indonesia dengan yang lainnya,” katanya.

Sumber: Hukumonline.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *